Monday, May 3, 2010

Pemuda Harapan



Tak biasanya dia datang terlambat, tak biasanya dia belum datang pada jam segini. Kemana pemuda itu? Bapak selalu menanyakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Dua ribu rupiah, hanya itu uang yang tersisa yang diperlihatkan bapak dari saku celananya, hanya itu yang bisa dihasilkan oleh bapak setelah seharian ia menguras tenaga, apa yang bisa diharapkan dari uang segitu.


Menawarkan rokok, tisu, dan permen ke pengendara motor yang melewati kolong jembatang layang yang setiap hari bapak lakukan, tak menghasilkan penghidupan yang layak. Hanya itu satu-satunya pekerjaan pilihan bapak. Sedangkan aku hanya mengikuti Seno, temanku untuk mengamen bersama di sela-sela kendaraan bermotor di tempat yang sama dan kadang-kadang di kawasan dekat lampu merah. Seluruh uangnya pun tak pernah kami rasakan melainkan tak lebih dari seperempatnya saja. Karena bang Barong, bos kawanan preman di daerah itu, selalu menagih uang yang kami peroleh dengan alasan buat bayar uang kontrakan karena tinggal di bawah jembatan layang. Mungkin ini yang dimaksud dengan zaman yang ga ada lagi yang namanya gratis. Zaman yang segalanya harus berurusan dengan uang.
Kehidupan kami tak pernah mengalami peningkatan dari hari ke hari. Kami tak pernah merasakan nikmatnya hidup, kami tak pernah merasakan kasur yang empuk dan makanan yang enak. Siapa yang peduli terhadap kami. Namun semenjak kedatangan pemuda itu, keadaan kami menjadi lebih baik. Pemuda itu selalu memberikan nasi bungkus ke pada penghuni setia kolong jembatan ini dan beberapa makanan lainnya. Terkadang ia juga memberikan uang, dan juga pakaian untuk kami. Walaupun pakaian bekas, namun itu sudah membuat kami senang. Dia biasanya datang selang waktu sekali dalam dua hari dengan motor bututnya. Sepertinya dia bukan orang kaya. Dari kendaraan dan juga pakaiannya tak memberikan tanda-tanda bahwa ia orang berada. Tapi itu tidaklah penting, yang penting adalah dia seorang yang kaya hati. Hanya dia yang peduli terhadap kehidupan orang pinggiran seperti kami. Para penghuni setia kolong jembatan merasakan cucuran air hangat menghujani dari langit. Tapi, dari dua minggu yang lalu sampai saat hari ini, dia tak kunjung datang.
***
Dua minggu sebelumnya…
"Adek, itu siapa?" seorang gadis dengan mobil Avanza merah menghampiriku dan bertanya. Ternyata dia adalah mbak Tia, fans-ku yang selalu setia mendengarkan lagu-laguku dan memberi tip yang lumayan.
"Ooo… itu, dia seorang dermawan yang baiii…k sekali, dia begitu memperhatikan kehidupan kami. Mungkin dia adalah utusan dari Tuhan."
"Namanya siapa, dan tinggal dimana?" mbak Tia penasaran.
"Kami biasa memanggilnya, mas Aditya. Kenapa, mbak Tia suka ya?" aku jawab sedikit menggoda.
"Ahh… kamu ini, kapan aja dia datang?"
"Biasanya, dia datang sekali dua hari setiap jam empat sore."
Seketika mas Aditya menoleh ke arah kami, dia tersenyum sembari melambaikan tangan, spontan mbak Tia membalas senyumannya sambil pipinya ikut kemerahan. Selang beberapa saat, aku berbicara dengan mbak Tia, mas Aditya memanggil.
"Rendi, sini! nanti kamu ga kebagian lho." Ketika aku menghampiri mas Aditya, mbak Tia langsung pergi, karena mobil di belakangnya terus saja melemparkan klakson.
***
Di terik panasnya matahari, mas Aditya datang. Ia tak pernah merasa enggan untuk datang dengan membawa sejuta harapan penduduk kolong jembatan. Kuperhatikan dari sudut sana, ternyata mbak Tia yang ngefans dengan nyanyiaku itu datang mendekati.
"Hai, apa kabar?" mbak Tia membuka percakapan.
"Baik." Jawab mas Aditya santai.
"Aditya kan?"
"Kok tau? Pasti Rendi yang bilang ya?"
"Hmm… ya gitu deh?"
"Oya, ada yang bisa dibantu?" mas Aditya menawarkan.
"Hmm… gini lho papaku seorang direktur di sebuah perusahaan kecil mungkin kamu bisa ngajukan proposal untuk kesejahteraan anak jalanan."
"Boleh juga usulnya."
"Aku usah cerita ke papa, mungkin kalau kamu ke sana bisa langsung dikonfirmasikan. Ini kartu nama papaku."
"Terima kasih atas tawaranya."
***
Semenjak pertemuan itu. Mereka selalu datang berdua memberikan bantuan yang lebih banyak dan juga makanan yang enak-enak. Semuanya merasa senang akan kehadiran mas Aditya, kecuali bang Barong. Ternyata bang Barong menyimpan dengki di hatinya. Pernah suatu ketika mas Aditya datang bersama mbak Tia ke tempat kami. Tiba-tiba saja bang Barong mencegat mereka.
"Heh sini!"
"Kenapa bang?"
"Kamu ga tau apa kesalahanmu."
"Memangnya saya salah apa?" mas Aditya bertanya dengan wajah innocent.
"Kamu membuat anak buah saya pada malas bekerja, dengan memberikan semua ini. Uang yang mereka hasilkan menjadi berkurang."
"Lho, jadi mereka semua kerja bukan untuk mereka sendiri? Tapi buat kepentingan abang ya?"
"Eee… itu bukan urusanmu."
"Jadi apa salahnya saya memberikan makanan kepada mereka." Bang Barong hanya terdiam geram. "Perbuatan anda bisa saya laporkan ke Polisi."
"Atas dasar apa anda melaporkan saya?"
"Atas tindak pemerasan terhadap orang-orang miskin yang tidak berdaya." Mas Aditya langsung balik kanan dan mengakhiri percakapan. Tampaknya bang Barong merasa tetap tak senang dengan kehadiran mas Aditya.
***
Di siang hari yang sangat panas yang menyengat, hingga memaksa tubuhku harus mengeluarkan keringat. Tampak beberapa orang berkerumunan di sekitar jalan, tepatnya di tepi pagar yang membatasi taman di tengah jalan. Aku dan Seno pun langsung melihat apa yang terjadi. Seperti biasanya ada saja kecelakaan, korban tabrak lari yang terjadi di jalan seperti ini. Ini merupakan kejadian yang lumrah. Setelah kami masuk ke dalam kerumunan itu dengan menyelip-nyelip antara orang dewasa, ternyata korban yang tergelatak di jalan itu adalah mas Aditya.Ya Tuhan! Mas Aditya. Tak lama setelah mas Aditya dilihat-lihat saja oleh orang yang mengelilinginya, baru ada seseorang yang datang merespon kejadian itu.
"Kenapa kalian diam saja? Kenapa tak dibawa ke rumah sakit?" teriak pemuda itu. Setelah itu baru mas Aditya dibawa dengan angkot.
"Kenapa tu bocah?" tiba-tiba bang Barong datang setelah kejadian itu.
"Ga tau, mungkin korban tabrak lari" seorang pemuda yang masih di lokasi kejadian menjawab.
"Ha…ha…ha… mampus lho!" bang Barong terlihat senang dengan kejadian itu.
Ya Tuhan, apa yang terjadi. Satu-satunya orang yang rela dengan ikhlas menolong kami, dan hari ini dia mendapat musibah. Aku mencoba untuk tidak berburuk sangka terhadap bang Barong atas kejadian ini. Tapi bang Barong adalah orang yang mudah saja melakukan hal seperti itu. Semenjak hari itu mas Aditya tidak pernah datang lagi, kami tidak tahu apakah dia selamat ataukah sudah menghadap Ilahi. Apakah selalu begini nasib orang yang mencoba berbuat baik. Pemuda harapan itu seakan hilang lenyap.

No comments:

Post a Comment