Monday, May 3, 2010

Menelisik Miss Imitasi di Indonesia; Serta Tinjauan Dalam Syariat

Satu lagi musibah yang melanda umat Islam saat ini. Akibat buah pemahaman dari liberalisme. Ketika sebagian manusia merasa dirinya begitu pintar dan bebas dalam berpikir dalam mengeluarkan pendapat. Tak penting apakah itu benar dan diterima masyarakat. Mereka lebih mengutamakan HAM (Hak Asasi Manusia) dalam tindak tanduk mereka.


Saat ini umat dihebohkan dengan hadirnya Miss Imitasi atau yang lebih akrab kita sapa Waria (wanita pria). Salah satunya, sebagaimana yang pernah terjadi di kota yang bernotabene sebagai Kota Islam; Serambi Makkah, Aceh. Beberapa bulan lalu digemborkan dengan kontes waria. Ajang yang dimeriahkan dengan mempertontonkan para waria. Dengan berbagai bakat dan keterampilan yang dimiliki, menjadikan nilai plus bagi para waria tersebut dalam kontes ini. Selain untuk mempererat silaturahmi kaum waria, ajang tersebut juga untuk menghilangkan stigma negatif masyarakat terhadap kaum waria tersebut. Ajang ini untuk membuktikan kaum waria juga bisa melakukan kegiatan yang positif, kata mereka.
Pemenangnya adalah yang paling serupa dengan wanita dan yang paling pandai menampilkan segala bakat, seperti menyanyi dan menari. Ternyata kontes ini cukup digemari oleh sebagian masyarakat. Mereka menyatakan telah mendapatkan izin dari MPU (Majelis Persatuan Ulama) di Aceh, atas terselenggaranya acara ini. Namun pada nyatanya MPU sendiri mengatakan tak pernah memberikan mandate atau izin pada panitia untuk melakukan acara seperti itu. Jangankan untuk mengizinkan acara kontes waria, acara semisal kontes kecantikan pun kami tidak mengizinkan, begitu kata salah seorang anggota MPU di Aceh.
Anehnya lagi, kontes ini tidak hanya terjadi, di Aceh dan kali ini saja. Namun acap kali digelar tiap tahun di berbagai tempat, di kota-kota besar di Indonesia. Hal ini menjadikan eksistensi waria di masyarakat diakui, dan menjadi suatu hal yang layak dan tak perlu ditutup-tutupi. Padahal mereka dulu masih merasa minder untuk unjuk gigi. Namun sekarang seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, menjadikan waria suatu hal yang lamban laun dikenal masyarakat. Sungguh sangat disayangkan kenapa negara kita sangat permisif dengan penyimpangan seperti ini.

Waria Ditinjau Dari Beberapa Aspek;

1. Aspek agama

 -Perlakuan yang Melanggar Qodrat
    Dalam Islam tidak ada istilah waria, Islam sama sekali tidak pernah mengakuinya. Sudah jelas bahwa Allah hanya menciptakan dua jenis manusia; Pria dan Wanita. Tidak ada yang lain selain kedua jenis ini. Namun jika nyatanya manusia menganggap waria itu memang ada dan layak diakui, hal ini sama halnya dengan pembangkangan terhadap kodrat Allah.
    Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki, baik itu dalam bicara, gerak-gerik, cara berjalan berpakaian dan sebagainya. Sebejat-bejat bencana yang akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang abnormal dan menentang tabiat. Maka jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan bergaya seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal.
    Rasulullah saw pernah menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambut juga oleh Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan betul-betul menjadi laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan menyerupai perempuan; dan sebaliknya. (HR. Thabrani). Justru karena itulah Rasulullah saw pernah melarang laki-laki memakai pakaian yang dicelup dengan 'ashfar (zat warna kuning yang biasa dipakai untuk mencelup pakaian-pakaian wanita zaman dahulu). Hal itu karena Rasulullah sangat khawatir terhadap umatnya dari sedikit saja melakukan kesalahan.
     

    -Bercampurnya Antara Kewajiban dan Hak
      Pada hakikatnya waria itu tetaplah laki-laki, maka kewajibannya sebagai hamba Allah tetap harus dijalani. Jika dirinya mengklaim bahwa ia wanita tentu ia seharusnya juga melakukan segala hal dalam ibadah yang diperuntukkan kepada kaum hawa, sedangkan ia adalah laki-laki. Karena prilakunya sebagai waria tidak mengugurkan kewajiban yang telah diperintahkan Allah, dan jelas ia meninggalkan kewajiban yang dilakukan oleh laki-laki, seperti sholat jumat, khitan, dan mencari nafkah jika memang terjadi pernikahan. Jelas saja jika ia tidak melakukan semua semua ibadah tersebut merupakan dosa yang sangat besar. Namun jika ia menjalankan hidup sebagai layaknya wanita dalam beribadah, maka hal itu sangat melanggar dan tidak realistis. Karena jika sholatnya wanita harus di shaf belakang, wanita menjalani haidh dan masa nifas, sedangkan waria tidak. Maka hal itu sama sekali tidak diperbolehkan.

      2. Aspek Keluarga
      Cara anak-anak dibesarkan dalam keluarga dengan cara yang berbeda yang dipengaruhi oleh lingkungan sangat mempengaruhi karakter si anak. Pada masa remajalah yang nantinya akan banyak mempengaruhi dan mewarnai hidupnya. Terkadang orang tua tidak begitu menyadari kelainan sifat yang dimiliki oleh si anak ketika kecil, mereka cenderung berkata; "Biarkan saja, mereka kan masih kecil, nanti juga berubah sendiri."
      Pada akhirnya para orang tua barulah menyadari bahwa perbuatan mereka yang membiarkan anak dengan pergaulan dan sikap yang salah merupakan kelalaian yang tidak bisa dimaafkan. Jadi sifat yang di miliki lelaki hingga ia menjadi waria, bukanlah sifat yang datang begitu saja, hal itu timbul pada saat anak-anak pada waktu bermain dan bergaul bersama teman-teman sebayanya. Setelah keinginan untuk merubah diri menjadi wanita semakin besar barulah orang tua merespon anak-anaknya, dan memaksanya secara paksa untuk berubah sifatnya yang sudah terlanjur seperti wanita.

      3. Aspek Sosial Masyarakat
      Biasanya bagi waria itu, kebanyakan dari mereka merupakan pendatang dari kota lain, karena sebagian dari mereka tidak lagi diterima oleh keluarga dan masyrakat setempat. Jadi mereka mencari tempat ayoman yang lebih aman, semacam tempat ikatan atau organisasi yang menerima wadah bagi waria. Mereka tampaknya lebih kerasan tinggal di tempat ini, karena kebutuhan dan hasrat mereka terpenuhi, dan lagi pula mereka tinggal bersama orang-orang yang sama-sama memiliki penderitaan yang serupa. Biasanya, pada awalnya masyarakat memberlakukan waria sangat tidak layak. Masyarakat acap kali menjadikan waria sebagai bahan olok-olokan. Namun di sebagian masyarakat memberlakukan peraturan; asalkan mereka tidak membuat onar, maka mereka boleh tinggal di lingkungan tersebut. Walaupun terkadang masyarakat tahu bahwa diantara waria tersebut ada yang melacur, walaupun mereka hanya mengakui sebagai pekerja di salon. Tapi dalam pandangan masyarakat, mereka sama saja. Itu karena dunia waria selalu dipandang dekat dengan dunia prostitusi. Konstruksi sosial waria dalam masyarakat berada dalam satu proses yang dialektis. Perilaku individual waria ditangkap masyarakat dengan sikap tertentu, yang tergantung dari sosialisasi waria. Di lain sisi kultur masyarakat membangun konstruksi sosial dunia waria dengan satu wacana pelacuran, akhirnya direspons oleh waria dengan cara-cara yang sangat individual pula.


      Membedakan antara Khuntsa dan Waria

      1. Khuntsa
      Khuntsa jika ditilik dari segi etimoligi berasal dari khanitsa yang berarti lemah lembut. (al Fayumi, al- Misbah al Munir-Kairo, Daar al Hadits, 2003,-hal; 112)
      Secara termoninologi khuntsa berarti seseorang yang memiliki kelamin ganda, yaitu kelamin laki-laki, dan kelamin wanita, atau orang yang sama sekali tidak mempunyai salah satu dari dua alat vital tersebut, tetapi ada lubang untuk keluarnya air seni. (al Mawardi, al Hawi al Kabir; 8/168, Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islami wa Adilatuhu; 8/426)

      Sebagaimana kita ketahui bahwa Allah Swt hanya menciptakan dua pasang jenis manusia, yaitu; laki-laki dan perempuan sebagaimana telah dicantumkan dalam Al-Quran;
        Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan…. (Al-Hujurat 13)

      Namun ada satu hal yang lain di luar hal itu. Yaitu khuntsa. Khuntsa merupakan seseorang yang memiliki kelamin ganda. Dalam dunia medis dikenal sebagai ambiguous genetalia atau dikenal dalam istilah interseksual yaitu dimana penderita memiliki cirri-ciri genetic, anatomic dan fisiologik meragukan antara pria dan wanita. Kelompok penderita ini adalah benar-benar sakit secara fisik (genitalnya) yang berpengaruh ke kondisi psikologisnya.

      2. Waria
      Sedangkan waria dalam bahasa Arabnya disebut al-Mukhannats. Mukhannats berarti, laki-laki yang menyerupai perempuan dalam kelembutan, cara bicara, melihat, dan gerakannya. Sedangkan waria transeksual atau transgender yaitu individu dengan gangguan psikologis laki-laki yang seperti wanita atau sebaliknya wanita seperti laki-laki dengan tanpa disertai kelainan fisik atau alat kelamin. Transeksual inilah yang dianggap kebanyakan masyarakata sebagai waria atau banci.

      Waria ini dibagi menjadi dua;
      Pertama; orang yang mempunyai sifat-sifat terebut sejak dilahirkan, maka tidak ada dosa baginya, karena sifat-sifat tersebut bukan atas kehendaknya, tetapi dia harus berusaha untuk merubah sifat dan sikapnya yang kewanitaan menjadi sifat sebagaimana ia diciptakan.
      Kedua; orang yang sebenarnya laki-laki, akan tetapi sengaja menyerupai sifat-sifat wanita. Orang seperti ini termasuk dalam kategori yang dilaknat oleh Allah dan Rasulullah dalam hadits-haditsnya.

      Kesimpulannya waria bukanlah khuntsa. Karena waria statusnya sudah jelas, yaitu laki-laki, sedang khuntsa statusnya masih belum jelas. Namun seringkali orang menyalah artikan dan menganggap waria sama dengan khuntsa.
      Bahasan Utama dalam Tulisan Buletin Mitra.

      No comments:

      Post a Comment