Tuesday, March 30, 2010

Ganbatte Kudasai

Sinar mentari lagi-lagi mencoba merasuki kamarku, seakan-akan memaksaku untuk bangkit dari tidur yang panjang berharap agar aku menyambut kedatangannya, megajakku mengiringi alunanya. Kubuka mataku pelan-pelan, dan aku berpikir sejenak tentang diriku, tentang apa yang telah kukerjakan di Kairo ini, tentang waktu yang telah kusia-siakan waktu yang berlalu begitu saja tanpa kompromi, tanpa menungguku, waktu meninggalkanku jauh. Belum ada hal yang berarti yang kuperoleh di negeri yang terdapat berjuta Ilmu di dalamnya, waktuku terbuang percuma selama 2 tahun ini. Sejenak aku termenung memikirkan kemanakah arah tujuan hidupku, akan jadi orang seperti apakah aku ini.



Ujian term 2 sudah 3 bulan lamanya berlalu, saat-saat yang ditunggu-tunggu bagi setiap mahasiswa, namun tidak bagiku. Aku tak menjamin diriku akan mendapatkan nilai yang bagus, berbeda dengan teman-teman sefakultasku, karena aku hanya belajar ketika ujian datang menjelang. Hari itupun tiba, saat dimana natijah ditempelkan di mading di tembok gedung kuliah. Semua mahasiswa pergi ke kuliah namun aku tetap di rumah, aku tak tahu kenapa aku begitu takut untuk melihat natijah tahun ini. Tak seperti tahun sebelumnya. Aku minta tolong kepada teman seflatku supaya meihat natijahku, tapi setiap ia kembali dari kuliah selalu saja berkata tidak sempat.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk melihat hasil natijahku sendiri, dadaku berdetak kencang menyimpan pertanyaan, apakah aku akan rasib? Setengah jam lamanya aku mencari namaku di dinding pengumuman, dan akhirnya pun aku menemukan namaku. Dan ternyata benar aku rasib tahun ini. Aku menghembuskan nafasku terduduk menyandarkan punggung ke dinding. Seakan tak percaya namun ini nyata.
Merah rona matahari di ufuk barat semakin lama semakin menebal warnanya. Namun sebelum bulatan raksasa jatuh terbenam di balik imarah aku berjalan menelusuri trotoar akhirnya akupun sampai di mahathah. 80 coret yang kutunggu-tunggu akhirnya datang jua.
Hari ini penumpang sangat padat aku memasuki bus berdesak-desakan dengan penumpang yang lainnya. Aku mencoba meraba handphone-ku guna mengetahui jam berapakah aku akan sampai di rumah tapi ternyata, dimana, dimana handphone-ku? Ternyata handphone-ku raib sudah, kucoba mencari dan terus mencari tapi tetap tak kutemukan, aku baru tahu kalau ini ulah harami! Akupun menoleh ke belakang dan kuteliti wajah penumpang yang berdiri satu persatu tak kutemukan satu orangpun yang menyimpan wajah mecurigakan, tunggu dulu pemuda itu, pemuda itu berjalan mendekati pintu dan ia pun turun melompat dari pintu, aku bertanya dalam hati kenapa ia turun? Padahal bus baru berjalan 20 meter dari mahathah dia kah orangnya? Dan aku turun membuntutinya ia pun berjalan menambah speednya dan sembunyi di keramaian aku cemas kalau-kalau aku kehilangannya,
"Harami….!"Aku berteriak kencang dan menghampirinya. Semua mata tertuju padanya.
"Hei kau pencuri," Dia menoleh seolah-olah tak tahu apa-apa.
"Siapa yang pencuri?" Aku mulai naik pitam.
"Kau mencuri handphone-ku" Kemudian dia menjawab tanpa berdosa.
"Maaf aku tidak mencuri handphone-mu, barangkali kau salah orang".
Spontan aku marah dan langsung memukulnya, ia pun terjatuh, lalu sambil berteriak ia berkata.
"Kaulah pencuri sebenarnya, coba periksa di dalam tasnya!" Tiba-tiba seorang pemuda setengah baya langsung menyambar tasku. Lalu ia berkata
"Benar kaualah pencurinya, di dalam tas ini terdapat beberapa handphone" Sembari ia mengeluarkan semua barang yang ada di dalam tasku. MasyaAllah apa yang terjadi, kenapa handphone-handphone itu berada di dalam tasku? Aku tak menduga sama sekali. Keadaan berbalik.
"Ini fitnah, ini fitnah, hal ini tak mungkin terjadi". Aku mencoba membela diriku.
"Bukankah buktinya sudah ada? Kau hanya ingin melemparkan kesalahan padaku kan?" Dia berkata seolah paling benar.
"Wallahi aku tak pernah memasukkan handphone-handphone itu kedalam tasku, kalian bersekongkol" Aku mengacungkan telunjukku kepada orang yang memeriksa tasku. Namun tiba-tiba dua orang pemuda langsung saja menyergapku dari belakang merangkul kuat kedua tanganku dan akupun tak kuasa untuk melepaskannya. Semua orang berteriak melemparkan tuduhan kepadaku, kedua pemuda tadi berkata tegas
"Kami akan membawanya ke kantor polisi" Akupun terkejut dan brontak sambil menegaskan.
"Aku bukan pencuri".
Lalu tiba-tiba datang sesuatu menghantamku dari belakang. Akupun setengah pingsan, lalu mereka membawaku ke belakang sudut-sudut imarah yang kumuh dan beraroma tak sedap. Sesekali kedua lututku tercacah ke tanah yang berdebu. Setelah sampai di ujung jalan, mereka berhenti. Aku tersadar dan heran kenapa mereka membawaku ke sini? Samar-samar kumendengar perkataan mereka,
"Akan kita apakan anak ini"?
"Kita hajar saja" Yang satunya lagi menjawab. Dugaanku benar bahwa mereka bersekongkol, ternyata mereka adalah sekawanan pencopet yang bekerja sama. Sangat menyedihkan untuk tahu bahwa aku dijebak. Sesaat sebelum dia memulai mengambil ancang-ancang untuk memukulku akupun berlepas diri setelah tahu bahwa kekangan mereka terhadapku tak kuat lagi, aku sempat melayangkan ikan terbang ke ulu hati si pencopet yang mencoba tuk memukulku, dan katak masukpun tak ketinggalan kususulkan kepada dua orang yang memegangku, kemudian kulanjutkan dengan jurus langkah seribu, tampak tersirat rasa ingin untuk membalas dendam di raut wajah mereka namun aku terlanjur jauh untuk dikejar. Akhirnya aku sampai ke tempat yang aman. Lega rasanya tapi sangat menyedihkan kenapa ini harus terjadi padaku. Handphone kesayanganku hilang beserta tasku yang didalamnya terdapat Pasport, Karneh, Tuhfatus Saniyah, dan juga Mp3 yang biasa kupakai untuk merekam muhadharah.

*****

Awan hitam menutupi indahnya sang rembulan, kabutpun ikut serta melindungi malam, aku menunggu satu-satunya bus yang bisa mengantarku pulang. Aku tertidur dalam penantianku yang panjang, sampai akhirnya akupun terbangun dan kusadari ternyata jam sudah menunjukkan pukul 02.15. Aku memilih untuk tidak pulang semalam ini, karena ngantukku cukup berat. Kucoba mencari beranda-beranda toko yang sedikit bersih namun sedikit sekali yang bisa dibilang bersih.
Setelah akhirnya kutemukan tempat di penghujung jalan kubaringkan tubuhku. Belum sempat aku tertidur, datang seorang tua berjenggot dengan pakaian seadanya menghampiriku, dia memakai sendalnya yang sekidit putus dan tongkat di tangan kanannya.
"Oh sudah ada penghuni baru rupanya?"
"Penghuni baru?" Akupun balik bertanya
"Ya biasanya Ahmad yang tidur di tempat ini, tapi sekarang ia pergi entah kemana" Aku mengangguk dan terdiam.
"Kau berasal dari mana?".
"Aku dari Indonesia" Ia terus bertanya.
"Apa yang membuatmu tertidur di sini? Apakah karena kau tidak mempunyai rumah?" Si tua itu bertanya dengan wajah penasaran.
"Aku kemalaman dan sangat lelah" Jawabku sambil menghela nafas.
"Kenapa Kau sampai kemalaman?" Tanyanya tak kunjung henti. Lalu aku menceritakan apa yang telah terjadi. Dengan mimik yang menyedihkan berharap ia mengasihiku, namun yang kuterima bukanlah rasa prihatin atau belas kasihan tapi malah tawa yang memecah keheningan malam.
"Kenapa kau malah tertawa?" Aku sedikit marah dan tersinggung.
"Seharusnya kau bahagia".
"Apa yang membuatku harus bahagia?". Hari ini aku gagal di bangku kuliah aku kehilangan harta benda satu-satunya yang aku miliki, aku tak memiliki apa-apa lagi.
"Seharusnya kau bahagia". Dia mngulangi kata-kata yang sama
"Itu karena Allah masih memperhatikanmu."
"Mustahil, Allah memperhatikanku, justru Ia melupakanku dan bertindak tak adil padaku."
"Janganlah berburuk sangka padaNya, ketahuilah sesunguhnya Allah jika menyukai seseorang maka Ia akan mengujinya. Ujian itu datangnya dari Allah, Ia sengaja menguji hambaNya untuk mengetahui seberapa besar kadar keimanannya." Akupun termenung sejenak untuk menelan perkataan si tua itu.
"Minta ampunlah kepadaNya tinggalkan maksiat, perbanyaklah beramal shaleh."
"Astagfirullahalazhim….," Tanpa kusadari air mataku menetes dari kedua kelopak mataku, mungkin si tua ini benar adanya.
Aku terhanyut dalam lamunan panjangku. Air mataku tak kunjung henti, seketika aku terdiam. Aku mencoba menolehkan kepalaku kearah si tua itu berniat mengucapkan terima kasih padanya, namun apa yang kudapati, ternyata si tua itu telah lenyap dari sisiku, kemanakah perginya? Aku berdiri dan coba mencarinya kuhirup sesak tangisku dan berteriak memanggilnya, namun tak satu suarapun menyahut.
*****
Azan Shubuh menggema indah merasuk ke relung hati, aku mendengarkannya khusyuk hingga usai. Aku berjalan menuju Mesjid tempat Azan dikumandangkan. Merupakan moment yang nadir bagi masisir sepertiku untuk sholat Shubuh berjama'ah di mesjid.
Seusai Shalat Shubuh aku diam merenungi nasibku kembali. Di samping mihrab, seseorang yang tadi mengimami shalat tersenyum kepadaku dan menghampiriku sembari bertanya,
"Azhariy?"
"Ya" sambil mengarahkan wajahku kearahnya. Aku meminta nasehat kepadanya ia langsung menjawab tanpa basa-basi.
"Hari ini hanya pengorbanan, perjuangan, mujahadah sekuat tenaga dan penuh gigih. Hari esok hanya penyesalan, kerugian, putus asa, malu, merana, hilangnya obsesi.
Kejayaan islam amanah di pundakmu. Maka gapailah dan genggamlah keberhasilan hari ini. Agar Allah meredhai kita. Sejarah akan dirubah oleh mereka yang berjiwa besar, bermental tangguh, bercita-cita tinggi, dan memiliki hati yang suci. Mulailah dari detik ini juga! Impian hari ini kenyataan hari esok…."

*****

Wahai diriku penyesalan akan datang selalu di penghujung jalan sebelum asa dan tekad menjelma menjadi tangis
Katakanlah! Aku berazzam, tiada waktu tanpa mujahadah
Allahu Akbar Melangkahlah wahai jiwa!
Wahai diriku hancurkanlah penyesalan hari esok. Dengan persembahan semangat, juang, gerak dan usaha sekuat tenaga bermandikan keringat.
Yakinlah! Engkau pasti bisa dengan izin, rahmat dan taufik dari yang Maha Rahman dan Rahim.

(Tulisan untuk Majalah Sinar Muhammadiyah)

No comments:

Post a Comment