Tuesday, March 30, 2010

Baiturrahman

Seorang kakek tua melangkah gontai sambil menggilirkan bijian tasbih di tangan kanannya menuju rumah kesangannya. Rumah dagang yang selalu mendatangkan keuntungan, tak pernah rugi. Rumah yang menjanjikan kebahagian abadi. Hanya orang bodoh yang tidak mau datang dan berkunjung ke rumah itu. Rumah itu diberi nama Baiturrahman, sebuah mushala berukuran persegi terletak paling sudut di pinggir Kampung Manggis.
Bagaimana tidak menguntungkan, setiap orang yang datang ke mushala buat beribadah kepada Allah pasti mendapatkan pahala yang berlimpah ruah. Belum lagi jika membaca Al-Quran, berzikir dan iktikaf. Apakah itu tidak perdagangan yang menguntungkan? Siapa yang akan rugi jika mempunyai banyak pahala buat bekal di hari kelak.Ya itulah perdagangan akhirat.


Begitulah lebih kurang kata-kata yang selalu dilontarkan kakek tua itu kepada para pemuda yang selalu ia temui di pos ronda, karena mereka sering menghabiskan waktu hanya untuk berkelakar dan bersenda gurau, ketika hendak menuju Baiturrahman. Tidak hanya itu, kakek tua tersebut juga suka memberi pencerahan kepada setiap orang yang dijumpainya, tua maupun muda baik dikenal ataupun tidak dikenalnya. Hanya saja banyak orang yang tidak mau mendengarkan perkataannya. Sekalipun kata-katanya sangat bermanfaat dan mengandung hikmah kehidupan.
Kakek itu sudah uzur tapi dia tidak pikun. Wajahnya dibaluti kulit keriput seperti kulit kacang rebus. Rambutnya hanya satu atau dua helai yang kelihatan tidak beruban, jika dia berjalan di malam hari tanpa kopiah khasnya, di bawah lampu penerang jalan, maka kepalanya yang dibanjiri uban akan mengkilat karena pantulan cahaya. Kakek itu tidak pernah terlambat untuk datang ke mushala, dialah satu-satunya orang yang paling gemar dan rajin meramaikan mushala. Ia selalu menjadi muazin dan terkadang sekaligus menjadi imam. Apalagi semenjak imam sebelumnya pindah dinas ke masjid yang megah dan besar apalagi masjid tersebut mempunyai subsidi bagi siapa saja yang menjadi imam tetap. Memang di mushala ini, imam sama sekali tidak diberi upah. Mushala ini sama sekali tidak mempunyai pasokan dana dari manapun. Tidak dari pemerintah, para dermawan, apalagi masyarakat setempat.
Ketika bulan Ramadhan, para penceramah biasanya diberi uang saku dari hasil infak yang dikumpulkan dari jemaah yang hadir, walaupun terkadang kurang mencukupi. Itupun kalau penceramahnya datang. Jika tidak, maka infak yang terkumpul akan digunakan untuk penceramah selanjutnya atau untuk keperluan mushala. Untung saja mushala itu masih ada yang mengurus. Kalau tidak ada kakek itu, mushala ini benar-benar akan terlantar.
Orang yang datang menjadi jemaah pun tidak seberapa, mungkin setiap sholat lima waktu hanya shaf pertama saja yang terisi, baik di shaf laki-laki maupun shaf perempuan. Rata-rata orang yang sholat di mushala ini orang yang sudah seumuran dengan kakek tua itu, orang-orang yang sudah bau tanah. Karena ukuran mushala ini kecil, mushala ini tidak pernah dipakai untuk sholat Jumat, apalagi sholat Idul Fitri dan Idul Adha. Biasanya orang-orang di desa Kampung Manggis pergi ke masjid kampung sebelah. Karena masjid di kampung itu cukup besar dan bisa menampung banyak orang.
Kakek tua itu sangat menyayangi Baiturrahman. Dialah yang selalu merawat dan menjaga mushala itu. Hampir setiap hari-harinya dihabiskan untuk berdiam diri di mushala tersebut. Apalagi karena seluruh kerabat meninggalkannya dengan alasan mencari penghidupan yang lebih layak di Jakarta. Ia tak pernah membiarkan waktunya habis terbuang kecuali hanya untuk berubudiyah di mushala. Dzikir dan membaca Al-Quran hanya itu yang dikerjakannya. Terkadang ia sering menangis dan meratap di mushala. Bukan nasib yang ia tangisi, ia menangis karea keadaan umat di kampungnya yang sangat jauh dari mushala. Bukan jarak yang menjauhkan, tapi hati merekalah yang jauh dari mushala dan beribadah kepada Allah. Padahal kakek tua itu tidak pernah bosan-bosannya mengajak dan menasehati setiap orang yang ia jumpai disetiap tempat, terlebih lagi setiap akan menuju ke mushala. Hingga setiap waktu sholat pun tiba, sebagian masyarakat sengaja menghilang dan menyembunyikan diri agar terhindar dari ocehan kakek tua tersebut.

***
Seperti biasa, seusai sholat Isya kakek itu sedikit memberi pengajian singkat kepada jemaah yang seadaanya. Tapi kali ini ada yang lain terlihat dari pandangan kakek itu dari jemaah. Terlihat di sebuah sudut mushala seseorang dengan wajah baru, ia mengenakan kaos putih berkopiah merah. Baru kali ini rasanya dia datang ke mushala. Rasa haru timbul dalam dirinya, akhirnya ada juga yang mendengarkan dan sadar terhadap dakwahnya selama ini. Ia berusaha semaksimal mungkin dalam menyampaikan pengajian kali ini. Setelah usai, semua jemaah meninggalkan mushala, hanya tinggal kakek tua saja yang terakhir keluar, karena ia yang memegang kunci mushala. Setelah si kakek menutup semua jendela dan pintu mushala, ternyata ia telah dinanti seorang pemilik wajah baru tadi. Rupanya dia adalah Datuk Syakir, kerabat dekat pak RT. Hanya saja tadi kakek itu tidak mengenal wajahnya, karena pandangan mata kakek yang sudah agak kabur. Rasa gelisah tersirat dari lakunya. Kakek melayangkan senyum dan mengawali dengan salam. Ternyata ada niat tersembunyi dibalik kedatangannya ke mushala kali ini. Rasa haru kakek yang tadi timbul hilang begitu saja, setelah Ia menyatakan niat kedatangannya. Ia menyatakan bahwa mushala itu bangunan yang sudah tidak layak pakai, karena pondasinya yang sudah rapuh dan bentuknya yang sudah sangat kuno. Ia ingin mushala itu diruntuhkan karena akan dibangun sebuah rumah. Dan juga karena seperempat bagian dari tanah mushala itu adalah tanah pemberian dari leluhur Datuk Syakir. Dan sekarang ia ingin memilikinya. Kakek itu sebenarnya tidak mempunyai kuasa atas tanah tersebut ia hanya bisa berkilah mempertahankan mushala itu sebagai satu-satunya tempat ibadah di Kampung Manggis.
"Di tanah ini mau saya bangun rumah, jadi anda harap maklum," gumam Datuk Syakir, dengan sedikit angkuh.
"Boleh saja, asalkan tidak mengganggu mushala ini, jawab kakek tua dengan nada lembut.
"Tidak bisa, karena seperempat tanah dari mushala ini adalah tanah leluhur saya, dan jika mushala ini tidak diruntuhkan mushala ini akan menghalagi pembangunan rumah saya," bantahnya tegas.
"Jadi anda ingin merobohkan tempat ibadah ini, sehingga orang tidak lagi bisa beribadah." Tegas si kakek.
"Tidak, saya akan membuatkan mushala yang baru yang lebih bagus dari ini. "Dimana?"
Ia sedikit terdiam dan gagap setelah kakek bertanya.
"Apakah leluhur anda rela jika tanah yang diberikannya untuk membangun mushala ini dipergunakan untuk kepentingan pribadi." Jelas si kakek.
"Maaf leluhur saya sudah meninggal, saya rasa dia pasti akan setuju." Jawab Datuk Syakir tak mau kalah.
"Anda punya surat tanah ini?" Tanya si kakek.
Ia pun geram. Tanpa kata-kata Datuk Syakir langsung melangkahkan kaki tanpa mengucapkan kata sedikit pun. Kakek pun heran.
***

Pertemuan malam itu membuatnya seharian tak bisa tidur dengan pulas. Ia tak puas karena hasrat yang tak terpenuhi. Ia berpikir bahwa kakek ini merupakan halangan terbesar baginya. Dan ia pun tak mau tinggal diam. Dengan cara apapun ia harus mendapatkan apa yang diinginkan. Bagaimanapun juga di tanah itu harus bisa dibangun rumah baru, sebagai mas kawin istri ketiganya. Tanpa berpikir panjang Akhirnya Datuk Syakir menjalankan rencana keduanya bahwa ia akan membuat surat kuasa palsu agar dapat menguasai secara penuh tanah tersebut. Karena ia memang tidak mempunyai hak sama sekali. Dengan cara yang tidak halal akhirnya dia mendapatkan juga surat tanah itu. Hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk meruntuhkan mushala itu.
Di hari yang ditentukan Datuk Syakir berniat untuk menjalankan rencana busuknya. Ia menyewa beberapa pemuda untuk meruntuhkan Baiturrahman. Mushala yang bangunannya sudah lama dan juga lapuk, tak perlu memakai alat berat untuk hanya sekedar meruntuhkannya. Mereka menantikan hingga sholat Isya usai. Ketika malam pun mulai sunyi. Rencana busuk itu berjalan dengan mudahnya tanpa gangguan.

***

Niat melakukan Sholat Shubuh di mushala itu sirna, ketika kakek mendapati mushala tidak lagi dalam keadaan berdiri kokoh seperti biasanya.
"Dasar biadab" Tanpa pikir panjang kakek itu langsung menemui Datuk Syakir pagi itu juga. Sesampainya di rumah Datuk Syakir. Kakek itu terdiam atas surat yang diperlihatkan padanya. Ia sama sekali tak berkutik menghadapi hal ini. Selalu saja yang lemah ditindas oleh yang kuat, sekalipun benar adanya. Hanya Allahlah yang Maha Tahu dan akan membalas perbuatannya.


By: Rudi Candra Putra

No comments:

Post a Comment